18 November 2009
TELUR BERMEREK
Sejumlah peternak tetap optimis mengalokasikan sebagian kecil populasi ayamnya untuk diberi perlakuan tertentu agar menghasilkan telur-telur bermerek (branded). Rata-rata hanya 5-10% dari total populasi yang dimiliki, dengan pertumbuhan yang sangat lamban — tergantung perkembangan clean market. Maklum, telur elit untuk mereka yang banyak duit jumlahnya pasti cuma sedikit!
Sejak dipelopori oleh Josep Setiabudi pada 1990-an, perkembangan produksi telur-telur bermerek sangat jarang mencuat dalam kancah perbincangan publik agribisnis perunggasan. Padahal awalnya dianggap sebagai sebuah inovasi pemasaran untuk lepas dari perangkap komoditas yang melekat pada telur – telur reguler atau lazim disebut juga telur merah. Tapi bisnis memang punya langgamnya tersendiri, di atas tahun 2000 produsen telur-telur bermerek bermunculan.
Setelah dimulai oleh Josep Setiabudi dengan PT. Sumber Inti Harapan - nya, menyusul PT. Semeru Perkasa Permai, kemudian Legok Babat Farm, Rehobat Co.Ltd., Indah Abadi Farm, PT. Dhagold Indonesia dan masih banyak lagi (lihat tabel). Menurut S. Limmarga atau yang akrab disapa Iwan — pemilik Legok Babat Farm — barangkali ada 12 peternak produsen telur-telur bermerek secara nasional, dan kalau dicermati mereknya sudah mencapai puluhan. “Saya berhenti memproduksi telur-telur bermerek, salah satu alasannya ya karena terlalu banyak pemain. Sementara quality control dari pemerintah (Badan POM) atau lembaga konsumen, boleh dikatakan tidak ada. Apakah benar, telur yang dipasarkan dalam kemasan yang bagus dan dipromosikan sebagai mengandung omega 3 itu benar-benar mengandung omega 3. Lagipula, bagi konsumen ‘kan lebih baik beli kapsul omega 3 – sudah pasti khasiatnya,” ungkap Iwan yang pernah memproduksi telur dengan merek ‘Superior’, ‘Special Plus’ dan ‘Special Grade’ ini penuh semangat. Dari sejumlah narasumber diperoleh kesamaan gambaran sulitnya memproduksi dan memasarkan telur-telur bermerek. Bahkan dari dua belas pelaku yang disebutkan di atas, dalam tiga tahun terakhir ini lambat laun menyusut.
Memproduksi telur-telur bermerek, menurut Josep Setiabudi seperti memasarkan mobil mewah di Indonesia, pasarnya ada tapi sangat kecil. “Margin-nya sih lumayan, tapi ya itu tadi – konsumennya tidak bisa banyak. Sehingga disamping butuh strategi marketing yang benar, juga perlu strategi produksi yang tepat,” ucap Josep.
Pernyataan senada juga disampaikan Budi Wirawan. Pasalnya konsumen kita masih suka mencoba hal baru, begitu telur – telur bermerek muncul, mereka ramai-ramai mencoba, tetapi setelah dirasa ‘tidak ada bedanya dengan telur biasa’ mereka tidak mengonsumsi lagi. “Ini sebenarnya juga ada faktor kesalahan dari produsen. Mentang-mentang produsen lain sudah meluncurkan telur yang mengandung omega 3 dan omega 6, maka supaya berbeda dengan yang lain diluncurkanlah telur omega 11, omega 20, atau entah omega apalagi. Padahal yang memang bermanfaat bagi tubuh hanya omega 3 dan omega 6. Oleh sebab itu, bagi kami yang terpenting adalah tetap konsisten memproduksi telur yang memang bermanfaat bagi kesehatan dengan kualitas yang baik,” ucap Budi. Diperkuat peneliti Telur-telur bermerek yang ditawarkan memang tidak boleh hanya sekadar bermerek atau jual stiker. Apalagi telur-telur bermerek yang dpasarkan kebanyakan ‘dipromosikan’ mengandung unsur-unsur tertentu yang penting bagi kesehatan manusia.
Sehubungan dengan itu, ahli Ilmu Gizi Masyarakat Prof. Dr. Sri Kardjati,dr. MSc. mewanti-wanti kepada peternak produsen agar menjaga etika penjualan. Jangan membohongi konsumen. Untuk itu perlu diperkuat dengan hasil pengujian oleh peneliti independen.
Bagai persisnya perkembangan bisnis telur-telur bermerek ini? Simakan detail lengkap informasinya di Majalah Poultry Indonesia Edisi Juni 2005.